Memahami Unsur Intrinsik Fiksi Sandiwara Radio Tutur Tinular (2)

Almarhum bapak S. Tidjab mengambil latar belakang sosial budaya masyarakat yang menganut ajaran Syiwa-Budha di masa akhir Singasari dan awal berdirinya Majapahit sekitar tahun 1286 hingga 1309 untuk penulisan SR TT.

Hal ini berarti segala tingkah laku manusia, suasana dan keadaan dalam SR TT akan didasarkan pada filosofi Syiwa-Budha yang digambarkan dalam suasana sejarah masa itu. Apakah seseorang melakukan dharma ataupun adharma ukurannya adalah filosofi Syiwa-Budha yang ada saat itu.

Jika kita sebagai penikmat karya memahami ini maka kita akan bisa memahami maksud dari penulisnya dengan lebih baik. Tanpa menghujat, tanpa kecewa dan menilai lebih bijaksana. Karena kita akan bisa masuk dan ikut berdiri di posisi masa yang digambarkan dalam ceritanya.

Contohnya kita bisa paham mengapa Banyak Kapuk tidak bisa datang memenuhi janjinya untuk mengawini Ayu Pupuh secara resmi karena alasan perbedaan kasta yang tidak disetujui oleh keluarganya.

Banyak Kapuk yang punggawa kerajaan adalah golongan kasta kesatria, sedangkan Ayu Pupuh gadis gunung Bromo anak kepala desa hanyalah seorang yang berkasta sudra.

Perkawinan beda kasta dengan telah terjadi kehamilan sebelumnya sudah pasti mempermalukan keluarga Banyak Kapuk karena jenis perkawinannya adalah perkawinan gandarowa menurut ajaran Syiwa-Budha yang mereka anut. Selain itu derajat Banyak Kapuk sebagai seorang kesatria juga akan turun menjadi seorang sudra yang sudah pasti akan mempengaruhi keberadaannya di istana Singasari saat itu.

Namun cinta adalah sesuatu yang melewati batasan apapun, hanya ego manusia yang bisa membingkainya. Maka demi ego keluarga, Banyak Kapuk memilih untuk menenggelamkan diri dalam karir keprajuritan di Singasari hingga ikut Raden Wijaya dalam pelarian dan mendirikan Majapahit agar bisa melupakan kesedihannya saat tidak bisa melewati batasan kasta yang mengaturnya. Sedang Ayu Pupuh memilih jalan pergi dari rumah, mencoba mencari keadilan dari lelaki yang dicintainya, dan setelah tembok kasta tak bisa pula dilewatinya, di ambang keputusannya untuk bunuh diri, ia justru menemukan jalan baru makna hidupnya dengan berguru kepada Nyai Cengkorong hingga melanjutkan perjuangan tabib itu dengan menjadi penerusnya. Hari-harinya dihabiskan dengan dharma sebagai tabib dan pertapa dengan nama Dewi Tunjung Biru hingga tiba sang Kuasa mempertemukannya kembali dengan cintanya yang terserak dalam ikatan keluarga yang bahagia meskipun sesaat.

Tiba juga hari di mana ia berkumpul bersama Sakawuni putrinya yang telah tumbuh menjadi remaja jelita dan Banyak Kapuk lelaki satu-satunya yang pernah mengisi hatinya hingga akhir hayatnya.

Dan bahkan saat itu ada pula Arya Kamandanu yang ternyata di kemudian hari adalah menantunya sesuai dengan keyakinannya saat pertama kali melihat pemuda itu datang diobatkan padanya.

Dharma Banyak Kapuk dan Ayu Pupuh dalam menaati aturan kasta Syiwa-Budha berbuah manis di kemudian hari. Sakawuni, putri mereka satu-satunya di kemudian hari amukti praja di Majapahit sebagai seorang rakyan rangga yang diangkat secara langsung oleh Raden Wijaya. Bukan hanya rakyan rangga biasa yang bertugas melatih prajurit umumnya tapi juga melatih putra putri raja. Banyak Kapuk sendiri mati terhormat sebagai pahlawan pendiri Majapahit di pangkuan istri dan anak tercintanya sementara Ayu Pupuh hidup tentram damai sebagai guru dan tabib yang dihormati di padepokan bukit Penampihan.

Dari penggalan ini kita bisa tahu bahwa penulis TT ingin menyampaikan pesan bahwa seberat apapun orang menjalani kehidupan dalam rangka menaati peraturan yang dia yakini, pada akhirnya akan berubah manis untuk dirinya sendiri.